PEMBUKA SURAT-SURAT AL-QUR’AN
Hal yang tidak kurang pentingnya dibahas dalam mukadimah Al-Qur’an
dan Tafsirnya, adalah tentang pernyataan-pernyataan yang ditetapkan Allah
dalam membuka surah-surah al-Qur’an. Al-Qur’an al-Karim memuat 114 surah, menurut
Ulama yang menghitung Surah at-Taubah/9 sebagai surah yang berdiri sendiri.
Ulama yang tidak menghitungnya sebagai surah yang berdiri sendiri, karena surah
ini tidak diawali basmalah dan dipandang sebagai terusan surat
sebelumnya, jumlah surah al-Qur’an hanya 113, dari Surah al-Fatihah sampai
Surah an-Nas.
Perbedaan ulama dalam menetapkan jumlah surah al-Qur’an bukanlah
masalah yang prinsip. Namun, satu hal yang jelas adalah bahwa surah-surah yang
terhimpun dalam al-Qur’an tidaklah dibuka Allah seluruhnya dengan pilihan
nuansa spiritual yang sama dan monoton, tetapi dengan variasi pernyataan yang
berbeda-beda. Perbedaan pembuka surah- surah itu tentulah bukan tanpa makna
yang berarti.
Adalah amat menakjubkan bagi orang – orang yang berfikir dan mau mengerti,
bahwa Allah swt membuka atau memulai surah
- surah kalam-Nya dalam al-Qur’an, dengan tak kurang dari 10 macam
pernyataan (frasa). Sepuluh macam frasa itu meliputi/menjaring seluruh surah
yang ada dalam al-Qur’an. Tidak satu pun surah yang berada diluar jangkauan
orientasi pernyataan-pernyataan itu. Sepuluh macam frasa yang dimaksud adalah
berikut :
Pertama, Allah
menyatakan pujian (as-sana’). Allah yang Maha Qadim menyatakan pujian
diri-Nya kepada diri-Nya sendiri, yang dalam istilah resmi disebut hamdul-qadim
lil-qadim (Puji Tuhan yang Qadim kepada diri-Nya). Pujian dalam kategori
ini terlihat dalam dua macam, yaitu pujian yang menegaskan predikat positif dan
kesempurnaan dalam diri-Nya dari sifat – sifat kekurangan. Pertama berbentuk at-tahmid (pujian),
seperti terlihat dalam lima surah, yaitu : al-Fatihah/1, al-An’am/6,
al-Kahfi/18, Saba;/34 dan Fatir/35: danterdapat dalam ungkapan keberkahan (tabaroka)
dalam dua surah : al-Furqan/25 dan al-Mulk.67. kedua, berbentuk Tasbih
yang dalam al-Qur’an terdapat dalam tujuh surah : al-Isra’/17, al-Hadid/57,
al-Hasyr/59, as-Saff/61, al-Jumu’ah/62, at-Tagabun/64 dan al-A’la/87.
Menurut pendapat al-Kirmani, dalam Mutasabih Al-qur’an, “Tasbih
merupakan ungkapan kata yang penting dalam rangka menyucikan Allah dari sifat –
sifat yang tidak baik bagi-Nya.” Maka, ia memulai menyatakan tasbih dengan,
menggunakan kata subhana (masdar) dalam surah al-Isra/17, karena masdar
adalah yang asal. Kemudian Allah menggunakan sabbaha, fil madhi (kata
kerja lampau) yang artinya “telah bertasbih.” Ungkapan sabbaha terdapat
dalam dua surah, yaitu Surah al-Hadid/57 dan al-Hasyr/59, karena keduanya lebih
dahulu segi turunya. Selanjutnya, Allah swt menyatakan tasbih dengan
menggunakan fi’il Mudhori, yusabbihu, yang artinya “selalu bertasbih”, terda[at
dalam surah al-Jumuah/62 dan surah at-Tagabun/64. Allah swt juga membuka dengan
tasbih dengan bentuk fi’il Amar (kata kerja perintah), yaitu sabbih, yang
artinya “bertasbihlah”, dalam surat al-A’la/87. Dengan demikian, penggunaan
tasbih oleh Allah swt sebagai pembuka surah-surah al-Qur’an telah dipaparkan
dalam berbagai bentuknya, untuk menunjukkan makana pentingnya tindakan manusia
dalam wujud memahasucikan Allah.
Al-Qur’an dengan begitu mengajarkan kepada menusia untuk bertasbih
kepada Allah. Bertasbih tidak hanya dikerjakan oleh manusia, tetapi juga oleh
makhluk Allah yang lain diantara langit dan bumi, sesuai dengan hukum alamnya
masing – masing.
Kedua, Allah, dalam
rangka membuka sebagian surah-surah al-Qur’an, menggunakan huruf-huruf tahajji,
yaitu huruf-huruf yang dalam pembacaannya dibaca satu – persatu (al-huruf
al-muqotta’ah). Kenyataan bahwa huruf-huruf tahajji digunakan Allah sebagai
surah-surah al-Qur’an, terdapat dalam sejumlah 29 surah, yang dalam pandangan
kebanyakan ulama itu dimasukkan dalam jenis nas mutasyabih, yang dalam
memahaminya memerlukan pentakwilan. 6 buah surah : al-Baqarah/2, ali-Imran/3,
al-Ankabut/29, ar-Rum/30, Lukman/31, dan as-Sajdah/32, dibuka dengan
Alif-Lam-Mim. Surah al-A’raf/7 dibuka dengan Alif-Lam-Mim-Shad. Surah Yunus/10,
Hud/11, Yusuf/12, Ibrahim/14, dan Surah al-Hijr/15 dibuka dengan Alif-Lam-Ra’.
Surah ar-Ra’d/13 dengan Alif-Lam-Mim-Ra’. Surah Maryam/19 dengan
Kaf-Ha’-Ya-‘ain-Shad. Surat Thoha/20 dengan huruf Ta-Ha. Surah as-Syu’ara/26
dan al-Qasas/28 dengan ta-sin-mim. Surah an-Naml/27 dengan ta’-sin. Surah
Yasin/36 dengan huruf ya-sin. Surah Sad/38 dengan huruf sad. Surah al-Mu’min/40,
Fussilat/41, az-Zukhruf/43, ad-Dukhan/44, al-Jasiyah/45, dan Surah al-Ahqaf/46
dibuka dengan ha’-mim. Surah as-Syu’ara’/26 dengan ha’-mim-‘ain-sin-qaf. Surah
Qaf/50 dengan huruf qaf, dan Surah al-Qalam/68 dengan Huruf Nun.
Pembukaan Surah dengan huruf-huruf potong
Pembukaan surah dengan huruf-huruf potong ada
lima macam, yaitu:
1. Dengan
huruf potong satu: qaf, sad, dan nun (Surah al-Qalam).
2. Dengan
huruf potong dua :
a.Tujuh
dengan hamim: Gafir, Fussilat, as-Syura’, az-Zukhruf, ad-Dukhan, al-Jasiyah,
dan al-ahqaf.
b.Dimulai
dengan ya sin, yakni pada Surah Yasin.
c.Dimulai
dengan ta ha, yakni pada Surah Taha.
d.Dimulai
dengan ta’ sin, yakni pada Surah an-Naml.
3. Dengan
huruf potong tiga:
a.Enam
dengan Alif-lam-mim: al-Baqarah, ali-Imran, al-Ankabut, ar-Rum, Lukman, as-Sajdah.
b.Lima
dengan Alif-lam-ro’: Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, Al-Hijr.
c.Dua
dengan ta’-sin-mim : as-Syu’ara’, dan al-Qasas.
4. Dengan
huruf potong empat:
a.Satu
dengan alif-lam-mim: yakni pada al-A’raf.
b.Satu
dengan alif-lam-mim-ra’: yakni pada ar-rad.
5. Satu
dengan huruf potong lima, yakni : kaf, ha, ya, ain, sad. Pada surah maryam.
Rahasia huruf potong pada permulaan surah
Ulama-ulama tafsir
telah membahas masalah ini penjang lebar menurut visi (tinjauan) mereka masing
– masing. Dari sekian banyak butir pembicaraan tentang huruf potong ini, akan
kita sarikan dibawah ini seperlunya.
Imam
al-Zamakhsyari dalam al-kasyyaf menyebutkan jumlah huruf potong yang digunakan
pada permulaan surah-surah yang 29 itu ada 14 huruf, yang berarti separuh dari
29 huruf-huruf hijaiyah. Seolah-olah isyarat itu member kesan (kata Qadi Abu
Bakar) bahwa siapa yang menuduh al-Qur’an itu bukan ayat-ayat Tuhan,
dipersuilahkan menggunakan huruf-huruf selebihnya untuk menyusun suatu kalimat
yang sanggup menandai al-Qur’an alif dan lam, dalam bahasa Arab, paling banyak
terpakai dalam susunan kalimat.
Sekalipun sebagian ulama tetap mengatakan huruf – huruf potong itu
adalah rahasia ilahi yang ada dalam al-Qur’an dan tidak mungkin diketahui
melaikan oleh Allah saja. Namun, tidaklah menghalangi orang untuk menggali
terus segala rahasia yang terdapat didalamnya.
Ibnu abbas mengatakan huruf-huruf potong itu merupakan singkatan
dari nama-nama Allah, misalnya:
- Alif singkatan dari Allah
- Lam singkatan dari Latief
- Mim singkatan dari Majid
- Kaf singkatan dari Karim
- Ha singkatan dari Hadi
- Ya singkatan dari Hakim
- Ain singkatan dari Alim
- Sad singkatan dari Saddiq
Penafsiran Ibnu Abbas juga diikuti
oleh beberapa tabi’in seperti ad-Dahhak yang mengartikan Alif-Lam-Mim dengan
Allah ar-Rahman as-Shamad (Allah yang Maha Pengasih Lagi tempat Meminta), dan
seterusnya.
Tidak ketinggalan, dalam mencari
rahasia huruf potong ini seorang orientalis (ahli ketimuran) yang bernama
Sprenger. Katanya, dalam ayat Ta’-Sin-Mim tersimpul arti Layamassuhu illalmuthoharun
(tiada yang menyentuhnya melainkan orang yang disucikan, sebab pada huruf ta’
ada al-Muthoharun, sedangkan pada Sin dan Mim tersimpul arti yamassu
(menyentuh).
Neoldeke (kelahiran Hamburg tahun
1836) menggagap huruf potong pada permulaan itu termasuk ayat al-Qur’an itu
sendiri, sedangkan Schwally perpendapat bahwa ia memandang huruf potong itu
singkatan dari nama sahabat, yang ditangan mereka ada sebagian naskah surah
yang mereka riwayatkan dari Nabi secara ma’nanya saja (artinya teks dari kata-kata
itu adalah bahasa sahabat itu sendiri). Misalnya, catatan Schwally : sin
singkatan dari Sa’ad ibn Abi Waqqas, mim dari al-Muqirah, nun dari Ustman ibn
Affan, ha dari Hurairoh, dan seterusnya.
Akan tetapi, baik Noeldeke maupun
Schwally merasa pendiriannya tidak tetap, sehingga dalam buku catatan
berikutnya ia telah mengoreksi kesalahannya kembali.
Mujahid, seorang tabi’in besar,
berpendapat permulaan surah dengan huruf potong itu dimasukkan sebagai
peringatan atau menyadarkan si pembaca akan pentingnya makna pada ayat
berikutnya. Kebiasaan demikian pada sair yang dibuat orang arab pada masa itu
adalah dengan memakai huruf tanbih (peringatan untuk menarik perhatian orang).
Seperti : “ala” atau “ama” yang berarti “ingatlah”. al-Qur’an memunculkan
sesuatuyang baru yang tidak di kenal oleh manusia sebelum nyauntuk menunjukan
ke istimewa’an al-Qur’anitu sebagai si pendengar.al-khuwaibi,mengatakan bahwa
Muhammad sebagai manusia biasa tentu saja sewaktu-waktu tidak terpesat benar
pikiraranya ketika menerima wahyu,maka jibril menurunkan sebagian surah dengan
terlebih dahulu menyebutkan”alif-lam-mim, alif –lam-ra’,dan seterus nya” agar
nabi mengenal suara jibril,sehingga nabi segera sadar bahwa wahyu akan di
turunkan.
Pendapat yang serupa dan lebih
tararah lagi, dikemukakan oleh Muhammad Sayyid Rasyid Rida (1865-19359) dalam
tafsir al_Manar. Kata beliau dengan huruf-huruf potong itu dimaksudkan agar
nabi saw segara ingat dan dapat menguasai dirinya menerima wahyu dari jibril
dan mendekatkan perhatian kepadanya. Selanjutnya, beliau mengatakan bahwa
tanbih (peringatan) pada mulannya ditujukan kepada orang Musyrikin Quraisy
kemudian kepada orang-orang ahli kitab Madinah.
Berturut-turut mufasir besar seperti
Imam ar-Razi, az-Zarkasyi, as-Syuyuti, Ibnu Katsir, Ibnu Jarir, menyebutkan dalam tafsir – tafsir mereka
bahwa soal makna huruf potong itu sebagai tanbih (minta perhatian). Pada masa
turunnya wahyu itu, orang –orang kafir berusaha memalingkan perhatian orang
yang hendak mendengar al-Qur’an dengan mengatakan “janganlah kalian
mendengarkan al-Qur’an itu”. Mereka berupaya keras agar orang yang belum
mengenal Muhammad tidak tertarik pada beliau. Karena itu, Allah menurunkan
sesuatu yang belum mereka kenal untuk mematahkan dan membungkam mulut kaum
kafir yang tidak senang itu dan sekaligus menarik minat mereka mendengarkan
al-Qur’an, yakni dengan huruf-huruf potong yang belum ada dalam bahasa mereka
sehingga. Kalau huruf potong itu terdengar, mereka betul-betul kagum dan heran,
sehingga mereka mengajak orang mendengarkan apa yang disampaikan Muhammad.
Huruf potong itulah sebagian dari daya tarik al-Qur’an dan daya pikat bagi
pendengarnya.
Dari keterangan –keterangan diatas,
dapat diambil kesimpulan tentang masalah ini, yakni :
a.Huruf-huruf
potong itu merupakan singkatan dari nama-nama Allah azza wa jalla, tetapi
tidaklah mungkin ia singkatan dari nama para sahabat seperti pendapat para
orientalis itu.
b.Huruf
potong pada permulaan surah dimaksudkan untuk menarik perhatian orang – orang
yang mendengar wahyu tentang apa yang hendak dibicarakan dalam ayat berikutnya.
Huruf potong itu merangsang pikiran dan perasaan orang untuk lebih tertarik
mendengarkan dan memahami ayat al-Qur’an. Apalagi dari 29 buah surah yang
dimulai dengan huruf potong, 27 buah surah diantaranya diturunkan di Makkah
yang pada intinya berisikan ajakan-ajakan kepada orang kafir Makkah khususnya
dan umat manusia umumnya untuk lebih manyakinkan kenabian Muhammad dan
kebenaran wahyu yang dibawanya. Sedangkan huruf potong pada surah ali-Imron dan
al-Baqoroh yang diturunkan dimadinah (Madaniyah) agaknya merupakan ajakan pada
orang ahli kitab atau para cendekiawan umumnya dengan jalan berdialog dan
dengan bertukar pikiran secara sehat. Cukuplah huruf potong itu sebagai daya
perangsang dan daya pikat buat mereka.
Tentu masih banyak buah pikiran lain yang tak mungkin disebutkan
semuanya, seperti Syaikh Tantawi Jauhari yang menyoroti huruf potong itu dari
sudut ilmu Fisika dan pengetahuan alam, dari sudut mistik bagi orang – orang
kebatinan dan sebagainya.
Pada umumnya, para mufasir tidak berupaya memahami maksud ungkapan rumus
tersebut. Terhadap nas mutasyabbih itu, mereka lebih suka menyatakan Allahu
a’lamu bimurodihi (Allah paling mengetahui maksudnya). Kelompok pakar serupa
itu memandang bahwa hidayah al-Qur’an bukan terletak pada ungkapan – ungkapan
seperti itu. Tetapi pada keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an, pada nas-nas yang
mudah dipahami maksud dan maknanya.
Tetapi, ada mufasir yang mencoba memahami maksud huruf-huruf potong
pembuka surah-surah itu, dengan merujuk pandangan mufasir masa awal islam,
semisal ibnu abbas. Dengan merujuk pendapat Ibnu Abbas, huruf-huruf potong yang
ditampilkan Allah dibagian awal beberapa surah al-Qur’an, mengandung arti
sebagai inisial nama – nama Alah, yang memang tuhan memiliki al-Asma’ al-Husna
(nama – nama yang baik). Atau, setiap huruf yang terdapat dalam uangkapan huruf
hijaiyah itu sebagai kependekan dari kata – kata yang sacral dan suci. Seperti
Alif-Lam-Mim dan penakwilan yang berdasarkan takwil Ibnu Abbas: Alif merupakan
inisial dari kata Allah, Lam dari kata Jibril, dan Mim inisial dari kata
Muhammad. Dengan begitu, maksudnya adalah hadzal Qu’an munazzal minallahi ala
lisani jibril ila Muhammad (al-Qur’an ini diturunkan dari Allah melalui
penuturan Jibril disampaikan kepada Muhammad).
Penakwilan tersebut adalah untuk menangkap sisi hidayah yang
terdapat dalam ungkapan – ungkapan firmannya yang berupa huruf-huruf tahajji
itu. Upaya penakwilan serupa untuk mencari solusi dari keterjebakan hidayah
“lempar handuk” yang dalam menghadapi huruf-huruf tahajji tersebut seolah-olah
cukup diselesaikan dengan kata Allahu a’lam bi murodihi. Pemaknaan sebuah
ungkapan dalam al-Qur’an mungkin dapat memunculkan sisi hidayah dari ungkapan
tersebut.
Ketiga, Allah membuka
sejumlah surah dengan mengedepankan panggilan (an-Nida’), dalam sepuluh surah.
Panggilan kepada Rasulullah dipermulaan surah terdapat pada surah al-Ahzab/33,
at-Thalaq/65, al-Tahrim/66, al-Muzammil/73, dan al-Mudassir/74. Panggilan lain
yang ditujukan kepada umat adalah sebagai mana terlihat diawal surah
an-Nisa’/4, al-Maidah/5, al-Hajj/22, al-Hujurat/49 dan al-Muntahanah/60.
Panggilan kepada Rasulullah tentu dengan tujuan agar menjadi perhatian Rasul
yang sudah semestinya juga
perhatian uamatnya. Sedangakan penggilan yang ditujukan pada umat adalah
sebagai bukti kasih saying Allah kepada mereka, dan agar apa yang disampaikan
berupa perintah atau larangan yang ditegaskan setelah panggilan itu benar-benar
diperhatikan dan diamalkan atau ditinggalkan dengan kesadaran, yakni dengan
pemantauan dan pengendalian pada diri sendiri.
Dengan demikian, satu fakta sangat jelas bahwa panggilan Allah
dalam al-Qur’an tidak hanya ditujukan
kepada Rasulullah selaku penerima wahyu, tetapi juga kepada umat manusia
terutama kepada umat islam, karena al-Qur’an itu memang sebagai petunjuk bagi
uamat manusia (hudan lin nas).
Keempat, Allah dibeberapa surah mengedepankan jumlah
khobariyah (pernyataan berita), baik ditujukan kapada Rasulullah maupun kepada
umat. Hal itu seperti dapat dilihat dalam surah al-Anfal/8, at-taubah/9,
an-Nahl/16, al-Anbiya’/21, al-Mu’minun/23, an-Nur/24, az-Zumar/39, Muhammad/47,
al-Fath/48, al-Qamar/54, ar-Rohman/55, al-Mujadilah/58, al-Haqqah/69,
al-Ma’arij/70, Nuh/71, la uqsimu di dua tempat, ‘abasa/80, al-Qadar/97,
al-Bayyinah/98, al-Qori’ah/101, at-Takatsur/102, al-Kautsar/108. Seleruh surah
yang dibuka dengan jumlah khobariyah, kata as-Syuyuti berjumlah 23 surah.
Pernyataan berita yang tersebar dalam 23 surah tersebut merupakan
pernyataan-pernyataan yang sangat penting agar manusia menghargai dalam
menerima, memahami, mengerti dan mengamalkannya. Semuanya perlu pada sikap
positif manusia, baik aqidah (keyakinan), ibadah maupun lainya.
Kelima, Allah
mengedepankan al-Qasam (sumpah) Nya dalam 15 surah disini ia bersumpah dengan
menyebutkan sebagian makhluknya sebagai muqsam bih. Diawal surah as-Saffat/37,
ia bersumpah dengan malaikat yang berbaris bersaf-saf. Dalam dua surah,
al-Buruj/85 dan at-Thariq/86, ia bersumpah dengan langit (as-Sama’). Kemudian,
dalam 6 tempat, ia ber Qasam dengan mekhluk-makhluknya terdapat pada makhluk
yang digunakan sumpah tadi. Da;am surah an-Najm/53, ia bersumpah dengan bintang
surayya. Disurah lain ditemukan sumpahnya dengan menyebut “fajar” yang menandai
dimulainya waktu siang ; matahari yang ada pada siang hari “malam” yang menjadi
tanda gelap yang kelam, “dhuha” dipai hari, “ashar” diwaktu yang lain.
Tegasnya, Allah bersumpah dengan sejumlah waktu.
Dalam dua surah, ia bersumpah dengan angin (al-Hawa’) yang
merupakan unsure alam yang penting sekali, yaitu dalam Surah az-Zariyat/51 dan
Surah al-Mursalat/77. Demikian pula Allah bersumpah dengan menyebut bermacam-macam
makhluknya, seperti dalam surah at-Tur/52, at-Tin/95, an-Naziat/79, dan
al-Adiyat/100. Disbanding sumpah-sumpah-Nya yang menyebut diri-Nya/Dzat-Nya,
sumpah-sumpah-Nya dengan menyebut makhluk-Nya lebih banyak tersebar dalam
banyak surah al-Qur’an.
Mengapa Allah memilih dan menetapkan sebagian dari makhluk-Nya,
dalam rangka sumpah-sumpah-Nya? Tentu hal tersebut memiliki tujuan dan maksud
tertentu. Apakah hikmah dibalik pilihan Allah terhadap sebagian makhluk-Nya
untuk digunakan sebagai objek dalam sumpah-sumpah-Nya?
Ibnu Abi al-Isba’ juga Ibnu Qayyim al-Jauziyah, menyebutkan bahwa
sumpah-sumpah Allah dengan menyebut sebagian makhluk-Nya menunjukkan bahwa
makhluk tersebut termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya yang penting atau agung.
Maksudnya, hal yang disebutkan dalam posisi muqsam bih itu memang sesuatu yang
amat penting yang perlu diperhatikan manusia yang merupakan mitra bicara Allah
dalam sumpah-Nya.
Dengan demikian, apabila Allah bersumpah, misalnya dalam Surah
asy-Syams/91:1, wasy-Syamsyi (demi matahari), maka terjemahan sumpah tersebut
yang paling tepat adalah “alangkah pentingnya matahari”. Pemahaman serupa itu
diambil sejalan dengan maksud penyebutannya oleh Allah dalam sumpahnya itu,
yaitu sebagi dalilun ala azimi ayati (bukti atas pentingnya ayat Allah).
Sasarannya adalah agar manusia mampu menangkap makna pentingnya keberadaan
matahari itu dalam keseluruhan tata kehidupan makhluk, khususnya manusia.
Sampai sekarang sudahkah umat islam mampu menangkap makna penting dari
keberadaan matahari? Sudah mampukah umat islam menangkap dengan tepat dan
akurat makna penting kata “wal ashr” yang digunakan sebagai muqsam bih dalam
sumpahnya pada surah al-Ashr/103?
Syaikh Muhammad Abduh mengemukakan bahwa sekiranya kita meneliti
kembali sumpah-sumpah tuhan dalam al-Qur’an akan tampak bahwa benda-benda yang
digunakan Allah bersumpah merupakan hal-hal yang diremehkan karena
ketidaktahuan akan faidahnya dan ketidak mampuan menangkap ibrah (pelajaran)
yang dikandungnya atau disebabkan kebutaan terhadap kandungan hikamah Allah
dalam ciptaan-Nya, atau terjadi persepsi yang keliru terhadapnya sehingga
melampaui kebenaran yang ditetapkan-Nya terhadapnya.
Karena itu, menurut Muhammad Abduh, adakalanya Allah bersumpah
dengan menggunakan suatu objek tertentu untuk menegakkan eksistensinya dalam
pikiran orang yang mengingkarinya, atau untuk mengingatkan terhadapnya terhadap
diri orang yang meremehkan atau melupakannya, atau demi mengubah citranya dalam
diri orang yang disesatkan oleh khayalnya dan orang yang diselewengkan oleh
persepsinya yang keliru atau salah.
Menurut pendapat asy-Sya’rawi ada juga diantara objek yang
digunakan Allah dalam bersumpah karena objek tersebut dipandang sebagai sesuatu
yang biasa saja, yang tidak dipedulikan dan tak diperhatikan. Allah bersumpah
dengan-Nya untuk mengorientasikan pikiran manusia agar memerhatikannya. Allah
menggunakan objek tertentu dari makhluk-Nya dalam bersumpah Karena pada makhluk
tersebut terdapat sesuatu yang amat penting/agung yang telah dilupakan manusia.
Keenam, Allah
menyebutkan kejadian-kejadian tertentu dengan mengaitkanya dengan syarat.
Penyebutan syarat tersebut dibagian pertama surah-surah tertentu untuk
menunjukan bahwa kejadian itu merupakan yang pasti akan terjadi, bukan hal yang
mungkin terjadi atau mustahil terjadi.hal itu seperti terdapat dalam tujuh
surah, yakni surah al-Waqi’ah/56, al-Munafiqun/63, at-Takwir/81, al-Infitar/82,
al-Insyiqaq/84, az-Zalzalah/99, an-Nasr/110.
Semua surah tersebut dibuka dengan syarat iza yang artinya
“apabila” ungkapan syarat, “apabila terjadi hari kiamat” (al-Waqiah/56),
“apabila orang – orang munafiq datang kepadamu (al-Munafiqun/63), “apabila
matahari digulung” (at-Takwir/81), “apabila langit terbelah” dan apabila bumi
berguncang dengan guncangan yang dasyat” (az-Zalzalah/99), dan “apabila telah
datang pertolongan dan kemenangan” (an-Nasr/110), semuanya itu pasti akan
terjadi didalam kenyataan yang tak dapat dihindari. Syarat iza digunakan untuk
hal-hal yang pasti terjadi.
Perlu dijelaskan bahwa syarat iza digunakan al-Qur’an untuk sesuatu
yang pasti akan terjadi, berbeda dengan kata “in” yang biasa digunakan untuk
sesuatu yang belum atau jarang terjadi, dan berbeda pula dengan syarat “law”
yang digunakan untuk mengandaikan sesuatu yang mustahil akan terjadi. Dengan demikian,
ungkapan – ungkapan dengan penyebutan huruf iza (apabila) dalam surah-surah
diatas, mengisyaratkan kepastian akan terjadinya hal-hal tersebut. Semua itu
harus diyakini sebagai hal-hal yang niscaya terjadi pada waktunya yang tepat.
Ketujuh, Allah membuka
surah-surah tertentu dengan menekankan al-Amar (perintah) Nya yang diarahkan
pada Rasulullah, yang juga kepada umatnya. Hal itu seperti terlihat dalam 6
surah, yaitu surah al-Jin/72, al-Alaq/96, al-kafirun/109, al-Ikhlas/112,
al-Falaq/113 dan an-Nas/114.
Dalam enam surah tersebut Allah memulai firman-Nya dengan fi’il
Amar “Qul” yang artinya “Katakanlah”. Perintah “Qul” dimaksudkan agar apa yang
disebutkan setelah kata perintah itu diterima, dijadikan sikap dan diyakini,
sehingga benar-benar menjadi keyakinan yang kukuh. Misalnya, kita menerima
firman-Nya: qul huwallahu ahad (katakanlah dia itu Allah Maha Esa) itu berarti
kita diperintah Allah untuk menerima, berkata, dan mempunyai keyakinan bahwa
Allah Tuhan yang Maha Esa. Maka kita selaku muslim selalu mengucapkan
kesaksian: Asyhadu alla ilaha illallah (saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan
yang patut disembah kecuali Allah).
Kedelapan, Allah
menyampaikan istifham (pertanyaan) dipermulaan enam surah, yaitu dalam Surah
an-Naba’/78, al-Ghasiyah/88, asy-Syarh/94, al-Fil/105, dan al-Ma’un/107.
Pertanyaan-pertanyaan Allah itu bukanlah berarti Tuhan tidak
mengetahui masalah-masalah dibalik pertanyaan, tetapi sebagi metode atau
jembatan dalam rangka menjelaskan lebih jauh apa-apa yang hendak
dipaparkan-Nya, sehingga siapa pun yang menjadi mitra bicara Allah menjadi tau
dengan jelas dan mengerti.
Kesembilan, Allah memvonis
celaka kepada pihak-pihak yang mestinya celaka dipermulaan beberapa surah,
yakni Surah al-Muthoffifin/83 dengan Vonis wailul lil muthoffifin (celakalah
bagi orang-orang yang curang); dan Surah al-Humazah/104, dengan vonis wailul
likulli humazah (celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela), dan dalam Surah
al-Lahab/111, dengan vonis-Nya tabbat yadaa abi lahabiw watabba (binasalah diri
Abu Laha, dan benar-benar binasa dia). Vonis – vonis Allah tersebut
disampaikan-Nya setimpal dengan keburukan dan kejahatan masing-masing yang
disebut dalam surah-surah yang terkait.
Kesepuluh, Allah dalm satu-satunya surah yaitu Surah
Quraisy/106, mengedepankan penjelasan alasan (at-Ta’lil). Alasan dalam surah
itu ditempatkan lebih dahulu dari sesuatu yang diperintahkan-Nya seperti yang
diletakkan kepada ayat 3. Dalam kata lain dalam surah ini, Allah lebih
mendahulukan keterangan alasan dari pada penyebutan sesuatu yang seharusnya
dilakukan (taqdimut ta’lil anil amri). Jadi, Allah memerintahkan sesuatu dengan
terlebih dahulu disampaikan alasannya, agar perintah yang disampaikan itu
benar-benar diperhatikan atau dijalankan.
Contoh dalam bahasa Indonesia dapat dibuat, misalnya : “karena anda memiliki
reputasi penting dan menonjol dalam segala hal dimasyarakat, maka anda
seharusnya banyak berbuat baik untuk diteladani oleh semua warga masyarakat”.
Dalam ilmu balaghah, gaya pengungkapan pembicaraan serupa itu termasuk
uslub (gaya bahasa) yang tinggi dan efektif. Sebelum perintah disampaikan
kepada orang quraisy, terlebih dahulu disampaikan alasannya. Dalam memahami
firman Allah disini, ada yang mengaitkan huruf lam karena at-Ta’lilm, dalam
kata liilafi pada awal ayat satu surah al-Quraisy, dengan perintah beribadah
yang ditegaskan pada ayat tiga berikutnya. Seakan-akan surah ini
mengatakan:”hendaklah mereka mengembah Allah, tuhan pemilik rumah ini, karena
dia telah menjamin kelancaran jalur perdagangan mereka, baik pada musim dingin
maupum musim panas”. Alasan yang disampaikan terlebih dahulu terasa lebih
indah.
Demikianlah sepuluh macam fakta pembuka surah-surah al-Qur’an yang
dapat dijelaskan yang ternyata alangkah bagus, menarik dan indah
pembuka-pembuka itu. Pembuka seperti pujian (at-Tahmid), huruf-huruf tahajji,
penggilan (an-Nida’) kepada Nabi dan umat, pernyataan berita kepada Nabi dan
umat, sumpah-sumpah Allah, persyaratan “iza” (apabila), perintah kepada Nabi
dan umat, pertanyaan simpatik, vonis kecelakaan pada pihak tertentu, dan
penyampaian alasan (at-Ta’lil) dalam rangkaian perintah yang seharusnya
dilakukan, adalah permulaan-permulaan yang sangat bagus. Menurut tinjauan ilmu
bayan, permulaan atau pembuka pembicaraan yang tepat dan bagus merupakan bagian
integral dari kebalagahan pembicaraan (min Balagatil kalam). Wallahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar