MEREKA BERTANYA
TENTANG MAULID NABI SAW
Dalam
hal dan bentuk apapun sikap ekstrem
(yang kemudian menjadi ‘ideologi’ ekstrimisme) jelas bukanlah sesuatu yang
menyenangkan dalam kehidupan. Sikap ekstrem dan ekstrimisme hanya menimbulkan
berbagai ekses dan dampak negatif dalam kehidupan individu, kelompok, dan
masyarakat secara keseluruhan. Ekstrimisme dalam kehidupan agama dapat
menimbulkan dampak lebih berbahaya lagi, karena agama juga melibatkan emosi
yang bisa menjadi sangat menyala-nyala. Dan pada gilirannya merusak harmoni dan
kedamaian intra agama tertentu dan juga antaragama. Karena itu, Islam tidak
menganjurkan sikap ekstrem dan ekstrimisme; sebaliknya sangat menekankan ‘jalan
tengah’, wasatiyah.
Akhir-akhir
ini di negeri kita Indonesia, sikap ekstem ini sudah mulai menyebar
kemana-mana, dengan bentuk yang bermacam-macam.
Terlepas dari apa penyebab dari sikap ekstremisme keagamaan ini yang
pasti sikap ini sangat meresahkan masyarakat.
Tulisan
singkat ini berangkat dari adanya sebagian kelompok yang mempunyai sikap
ekstrim yang mengharamkan amalan-amalan tertentu yang telah menjadi amaliyah umat Islam di Indonesia sejak berpuluh tahun
lamanya, salah satunya adalah Maulid Nabi SAW. Beberapa pernyataan mereka yang
didasari sikap “BENCI” yang berlebihan tentunya akan menjadikan siapapun dari
kita warga Nahdhiyin terusik akan pernyataan-pernyataan mereka, seperti
mengharamkan Maulid dengan menyamakannya dengan dengan perayaan Natal kaum Nasrani,
bahkan dengan tanpa malu dan tanpa segan mereka mengatakan :
إِنَّ
الذَّبِيْحَةَ الَّتِيْ تُذْبَحُ لإِطْعَامِ النَّاسِ فِيْ الْمَوْلِدِ أَحْرَمُ
مِنَ الْخِنْزِيْرِ
“Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu orang
dalam peringatan maulid lebih haram dari daging babi”.
Dalam
tulisan ini akan kami paparkan beberapa hujjah kenapa kita memperingati Maulid
Nabi SAW. Tentunya agar kita semakin yakin dan mantab akan ‘amaliyyah yang kita
lakukan.
Peringatan
Maulid Nabi SAW
Peringatan Maulid Nabi SAW pertama kali dilakukan
oleh raja Irbil (wilayah Iraq sekarang), bernama Muzaffaruddin al-Kaukabri,
pada awal abad ke 7 hijriyah. Ibn Kathir dalam kitab Tarikh berkata:
“Sultan
Muzaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau
merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang yang berani, pahlawan,
‘alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya-”.
Dijelaskan
oleh Sibt (cucu) Ibn al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut Sultan al-Muzaffar
mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama’ dari berbagai disiplin ilmu,
baik ulama’ dalam bidang ilmu fiqh, ulama’ hadith, ulama’ dalam bidang ilmu
kalam, ulama’ usul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari, sebelum
hari pelaksanaan maulid Nabi SAW beliau telah melakukan berbagai persiapan.
Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para hadirin yang akan hadir
dalam perayaan Maulid Nabi SAW tersebut. Segenap para ulama’ saat itu
membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh Sultan al-Muzaffar tersebut.
Mereka semua sepakat dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang dibuat untuk
pertama kalinya itu.
Ibn
Khallikan dalam kitab Wafayat al-A’yan menceritakan bahwa al-Imam al-Hafiz
Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam dan seterusnya menuju Iraq, ketika
melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijrah, beliau mendapati Sultan al-Muzaffar,
raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi
SAW. Oleh karena itu, al-Hafiz Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang
Maulid Nabi SAW yang diberi judul “al-Tanwir Fi Maulid al-Bashir an-Nazir”.
Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada Sultan al-Muzaffar.
Para
ulama’, semenjak zaman Sultan al-Muzaffar dan zaman setelahnya hingga sampai
sekarang ini menganggap bahwa perayaan maulid Nabi SAW adalah sesuatu yang
baik. Para ulama terkemuka dan Huffaz al-Hadith telah menyatakan demikian. Di
antara mereka seperti al-Hafiz Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafiz al-’Iraqi (W.
806 H), Al-Hafiz Ibn hajar al-‘Asqalani (W. 852 H), al-Hafiz as-Suyuti (W. 911
H), al-Hafiz as-Sakhawi (W. 902 H), Shaikh Ibn hajar al-Haitami (W. 974 H),
al-Imam al-Nawawi (W. 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn ‘Abd al-Salam (W. 660 H),
mantan mufti Mesir yaitu Shaikh Muhammad
Bakhit al-Muti’i (W. 1354 H), Mantan Mufti Beirut Lebanon yaitu Shaikh Mustafa
Naja (W. 1351 H) dan terdapat banyak lagi para ulama’ besar yang lainnya.
Bahkan al-Imam as-Suyuti menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn
al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid”. Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa
dirayakan di bulan Rabi’ul Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh dunia,
dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.
Hukum Peringatan Maulid Nabi
Peringatan
Maulid Nabi Muhammad SAW yang dirayakan dengan membaca sebagian ayat-ayat
al-Qur’an dan menyebutkan sebagian sifat-sifat Nabi SAW yang mulia, ini adalah
perkara yang penuh dengan berkah dan
kebaikan kebaikan yang agung. Tentu jika perayaan tersebut terhindar dari
bid’ah-bid’ah sayyi’ah yang dicela oleh syara’. Sebagaimana dijelaskan di atas
bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 7 Hijrah. Ini
berarti perbuatan ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, para sahabat dan generasi Salaf. Namun
demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi SAW dilarang atau sesuatu
yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah SAW atau tidak pernah
dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran
Rasulullah SAW sendiri. Para ulama’ menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi SAW adalah
sebagian daripada bid’ah hasanah (yang baik). Artinya bahwa perayaan Maulid
Nabi SAW ini merupakan perkara baru tetapi ia selaras dengan al-Qur’an dan hadith-hadith
Nabi SAW dan sama sekali tidak bertentangan dengan keduanya.
Dalil-Dalil mengenai Peringatan Maulid Nabi SAW
Peringatan
Maulid Nabi SAW masuk dalam anjuran hadith Nabi untuk membuat sesuatu yang
baru yang baik dan tidak menyalahi syari’at Islam.
-
Dalam hadith yang di riwayatkan oleh Imam Muslim Rasulullah
SAW bersabda:
“مَنْ سَنَّ فيِ
اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ” (رواه مسلم في
صحيحه)
“Barang
siapa yang melakukan (merintis) dalam Islam sesuatu perkara yang baik maka ia
akan mendapatkan pahala daripada perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga
mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya selepasnya, tanpa dikurangkan
pahala mereka sedikitpun”. (Diriwayatkan
oleh al-Imam Muslim di dalam kitab Sahihnya).
Faedah
dari Hadith ini:
Hadith
ini memberikan kelonggaran kepada ummat Nabi Muhammad SAW untuk melakukan
perkara-perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an,
al-Sunnah, Athar (peninggalan) maupun Ijma’ ulama’. Peringatan maulid Nabi SAW adalah
perkara baru yang baik dan sama sekali
tidak menyalahi satupun di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti
hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada
orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti ia telah mempersempit
kelonggaran yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada zaman Nabi SAW.
-
Hadith yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim di dalam
kitab Sahih mereka. Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah,
beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Ashura’ (10 Muharram).
Rasulullah bertanya kepada mereka: “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka
menjawab: “Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir’aun dan diselamatkan Nabi
Musa, dan kami berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah”.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda:
“أَنَا
أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ”.
“Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian
(orang-orang Yahudi)”.
Lalu
Rasulullah SAW berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa.
Faedah
dari Hadith ini:
Pelajaran
penting yang dapat diambil daripada hadith ini ialah bahwa sangat dianjurkan
untuk melakukan perbuatan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT pada
hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah SWT berikan pada hari-hari tersebut.
Sama halnya bersyukur karena memperoleh nikmat atau karena diselamatkan dari
bahaya. Kemudian perbuatan syukur tersebut diulang pada hari yang sama di
setiap tahunnya. Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan
berbagai bentuk ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca
al-Qur’an dan sebagainya. Bukankah kelahiran Rasulullah SAW adalah nikmat yang
paling besar bagi umat ini?!
Adakah
nikmat yang lebih agung daripada dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul
Awwal ini?! Adakah nikmat dan karunia yang lebih agung daripada kelahiran
Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian penjelasan
yang disampaikan oleh al-Hafiz Ibn hajar al-‘Asqalani
- Hadith
riwayat al-Imam Muslim di dalam kitab Sahihnya.
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ
الأَنْصَارِيِّ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ
: فِيْهِ
وُلِدْتُ وَفِيْهِ
أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم.
“Dari
Abi Qatadah al-Ans}ari RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai
puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan
wahyu diturunkan kepadaku.” (H.R. Muslim).
Faedah
dari Hadith ini:
Hadith ini menunjukkan bahwa Rasulullah
SAW melakukan puasa pada hari Isnain karena bersyukur kepada Allah SWT, bahwa
pada hari itu baginda Nabi SAW dilahirkan dan menerima wahyu. Ini adalah
isyarat daripada Rasulullah SAW, artinya jika baginda Nabi SAW berpuasa pada
hari isnain karena bersyukur kepada Allah SAW atas kelahiran beliau dan penerimaan
wahyu pada hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah sepatutnya pada tanggal
kelahiran Rasulullah SAW tersebut melakukan perbuatan sebagai ungkapan rasa syukur
kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia Allah SWT kepada kita, kelahiran Nabi
Muhammad SAW yang membawa rahmat kepada alam semesta, misalkan dengan membaca
al-Qur’an, membaca kisah kelahiran beliau, bersedekah, atau melakukan perbuatan
baik dan lainnya.
Allah SWT berfirman:
"
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu
mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa
yang mereka kumpulkan".(QS.Yunus:58).
Kemudian,
oleh karena puasa pada hari isnain diulangi setiap minggunya, maka berarti
peringatan maulid juga diulangi setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran
Rasulullah SAW masih diperselisihkan oleh para ulama’ mengenai tanggalnya,
-bukan pada harinya-, maka boleh saja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8,
atau 10 Rabi’ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak menjadi masalah
bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun, sebagaimana yang
telah ditegaskan oleh al-Hafiz as-Sakhawi seperti yang akan dinyatakan di bawah
ini.
Fatwa Beberapa Ulama’ Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah:
- Fatwa al-Shaikh
al-Islam Khatimah al-Huffaz Amir al-Mu’minin Fi al-Hadith al-Imam Ahmad Ibn hajar
al-‘Asqalani. Beliau menyatakan :
“أَصْلُ عَمَلِ
الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ
الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ
وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا
كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً”. وَقَالَ: “وَقَدْ
ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ”.
“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang
belum pernah dinukikan dari (ulama’) al-Salaf al-Salih yang hidup pada tiga
abad pertama, akan tetapi peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya
(keburukan), jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan
hal-hal yang baik dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah
bid’ah hasanah”. Al-Hafiz Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah jelas bagiku bahwa
dasar pengambilan peringatan Maulid Nabi SAW atas dasar dalil yang thabit
(Sahih)”.
- Fatwa
al-Imam al-Hafiz as-Suyuti. Beliau mengatakan di dalam risalahnya “Husn
al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid”. Beliau menyatakan seperti berikut:
وَالجَوَابُ عِنْدِيْ أَنَّ
أَصْلَ عَمَلِ
المَوْلِدِ الَّذِيْ هُوَ اِجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَأَةُ مَا تَيَسَّّرَ مِنَ القُرْآنِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ
الوَارِدَةِ فِيْ
مَبْدَأِ
أَمْرِالنَّبِيّ صَلَّّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّّمَ مَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الاَياَتِ ثُمَّ يَمُدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَهُ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ
عَلَى ذَالِكَ
مِنَ البِدَعِ
الحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيّ صََلََّى اللهُُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
وَإِظْهَارِالفَرَحِ وَالاِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ.
وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ
إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ
الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ
وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ
الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ
"
Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca
al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan
hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu
mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong
bid’ah hasanah (sesuatu yang baik). Orang yang melakukannya diberi pahala
karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan
atas kelahiran Nabi Muhamad saw yang mulia. Orang yang pertama kali
melakukan peringatan maulid ini adalah Raja Irbil, Sultan al-Muzaffar Abu Sa’id
Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan
dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang
membangun al-Jami’ al-Muzaffari di lereng gunung Qasiyun”." (Al-H{awi Lil-Fatawa,
juz I, h. 251-252).
- Fatwa
al-Imam al-Hafiz as-Sakhawi seperti disebutkan di dalam “al-Ajwibah
al-Mardliyyah”, seperti berikut:
“لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ
السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا
حَدَثَ “بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ
وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ
الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ
فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ،
وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ
الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ
بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ”. ثُمَّ
قَالَ: “قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ
الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ:
لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ
غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ
الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ
أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ”.
“Peringatan
Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorangpun dari kaum al-Salaf as-Salih
yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu.
Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar senantiasa mengadakan
peringatan Maulid Nabi SAW pada bulan kelahiran Rasulullah SAW. Mereka
mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang
menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan bermacam-macam
sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan
kebaikan-kebaikan lebih daripada kebiasaannya. Bahkan mereka berkumpul dengan
membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi SAW dan Maulid secara
menyeluruh. Dan ini semua telah teruji”. Kemudian as-Sakhawi berkata: “Aku
Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi SAW menurut pendapat yang paling sahih adalah
malam Isnain, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam
tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak
mengapa melakukan kebaikan baik pada siang hari dan waktu malam sesuai dengan
kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada siang hari dan waktu malam
bulan Rabi’ul Awwal seluruhnya”.
Jika
kita membaca fatwa-fatwa para ulama’ terkemuka ini dan merenungkannya dengan
hati yang suci bersih, maka kita akan mengetahui bahwa sebenarnya sikap “BENCI”
yang timbul daripada sebahagian golongan yang mengharamkan Maulid Nabi SAW
tidak lain hanya didasari kepada hawa nafsu semata-mata. Orang-orang seperti
itu sama sekali tidak mempedulikan fatwa-fatwa para ulama’ yang saleh
terdahulu. Golongan yang anti maulid seperti WAHHABI menganggap bahwa perbuatan
bid’ah seperti menyambut Maulid Nabi SAW ini adalah perbuatan yang mendekati
syirik (kekufuran). Dengan demikian, menurut mereka, lebih besar dosanya
daripada memakan daging babi yang hanya haram saja dan tidak mengandungi unsur
syirik (kekufuran).
Na’uzu
Billah… Sesungguhnya sangat kotor dan keji perkataan orang seperti ini. Bagaimana
ia berani dan tidak mempunyai rasa malu sama sekali mengatakan peringatan
Maulid Nabi SAW, yang telah dipersetujui oleh para ulama’ dan orang-orang saleh
dan telah dianggap sebagai perkara baik oleh para ulama’-ulama’ ahli hadith dan
lainnya, dengan perkataan buruk seperti itu?! Orang seperti ini benar-benar
tidak mengetahui kejahilan dirinya sendiri. Apakah dia merasakan dia telah
mencapai derajat seperti al-Hafiz Ibn hajar al-‘Asqalani, al-Hafiz al-Suyuti
atau al-Hafiz as-Sakhawi atau mereka merasa lebih ‘alim dari ulama’-ulama’
tersebut?! Bagaimana ia membandingkan makan daging babi yang telah nyata dan
tegas hukumnya haram di dalam al-Qur’an, lalu ia samakan dengan peringatan
Maulid Nabi yang sama sekali tidak ada unsur pengharamannya dari nas}-nas}
syari’at agama?! Ini berarti, bahwa golongan seperti mereka yang mengharamkan
maulid ini tidak mengetahui Maratib al-Ahkam (tingkatan-tingkatan hukum).
Mereka tidak mengetahui mana yang haram dan mana yang mubah, mana yang haram
dengan nas} (dalil al-Qur’an dan al-Hadith) dan mana yang haram dengan
istinbat (mengeluarkan hukum). Tentunya orang-orang ”BODOH” seperti ini sama
sekali tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan dalam mengamalkan agama
ISLAM ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar