ASSALAMU'ALAIKUM WR. WB. SELAMAT DATANG DI BLOG INI, SEMOGA BERMANFAAT

Minggu, 09 November 2014

HUBUNGAN TUHAN, MANUSIA DAN ALAM



HUBUNGAN TUHAN, MANUSIA DAN ALAM



A. HAKEKAT TUHAN, MANUSIA DAN ALAM
I. TUHAN
Allah swt adalah Tuhan yang pantas disembah kerena Allah ialah Rabb semesta. yang Maha Kuasa atas segala sesuatu yang ada diseluruh jagat ini. Allahlah yang Maha Pencipta yang telah menciptakan alam dan seisinya termasuk kita manusia. Allah swt telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 29, yang artinya:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu dan Dia berkehendak.”
Dalam ayat tersebut jelaslah bahwa Allahlah yang telah menciptakan bumi dan juga alam semesta ini. Hanya untuk-Nya kita diciptakan dan hanya kepada-Nya lah kita kembali. Ketika mendengar nama Allah swt seharusnya hanya satu yang ada dibenak kita, yaitu rasa cinta, cinta terhadap-Nya, segala sesuatu yang kita lakukan apabila didasari dengan rasa cinta terhadap-Nya. Semua akan terasa ringan, indah, mudah dan terasa terlindungi. Dialah tempat kita mengadu dan kita sebagai makhluk yang diciptakan-Nya, kita harus melakukan apa yang telah diperintakan-Nya dan menjauhi segala apa yang telah dilarang-Nya.
II. MANUSIA
Manusia adalah makhluk yang unik. Beragam definisi tentang manusia ditampilkan oleh para ahli dengan unik. Dan uniknya lagi tak ada satu pun dari mereka yang sepakat mengenai definisi manusia tersebut. Devinisi yang di berikan mereka saling bertolak belakang satu sama lainnya.mereka mendefisikan manusia berdasarkan latar belakang disiplin ke’ilmuan masing-masing.
Kaum logika mendefinisikan manusia sebagai makhluk yang berfikir (Homo Sapien). Kalangan ekonomi mengartikan manusia sebagai mahluk yang selalu ingin memenuhi kebutuhan ekonominya (Homo Economicus). Kelompok menejemen melukiskan manusia sebagai makhluk yang selalu menjalankan kegiatan administrasi (Homo Administraticus). Ahli psikologi menerjemahkan manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh keinginan-keinginan psikis (Homo Motorik) dan makhluk yang digerakkan oleh lingkungan nya (Homo Mecanicus). Sedangkan kalangan adamawan mendesain manusia sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan menyembah kepada-Nya, dan kepada-Nya pula akan dikembalikan.
Semua definisi itu mengandung kebenaran. Manusia, terlepas dari berbagai macam karakter dan kepribadian yang melingkupinya, selalu melakukan karakteristik-karakteristik seperti yang telah didefinisikan olah para ahli. Pada kenyataannya manusia selalu berfikir. Manusia juga sepanjang hidupnya tak pernah berhenti dan selalu berusaha menyukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Manusia tak pernah lepas dari keinginan-keinginan. Manusia dalam banyak hal sering berperilaku mengikuti lingkungannya.
Terlepas dari itu semua. Manusia merupakan ciptaan Tuhan. Bahkan dalam hal ini telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 12-14 dengan jelas Allah swt menjabarkan bagaimana Ia menciptakan manusia. Yang artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang. Lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah Pencipta yang paling baik.
Dalam ayat tersebut dengan jelas Allah swt menjabarkan dengan detail bagaimana proses penciptaan manusia. Maka jelaslah bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan. Lain dari itu semua manusia mempunyai sifat-sifat yang cenderung seperti tanah, mudah berubah-ubah tergantung dimana tanah itu berada.
Para ahli telah mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk sosial (tidak bisa hidup sendirian / saling ketergantungan antara yang satu dengan yang lain). Tetapi ada juga yang menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk individu (bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain). Tapi dalam praktek dan kenyataannya manusia adalah makhluk sosial itu tidak dapat dipungkiri lagi.
III. ALAM
Jika berbicara tentang alam, alam bisa dikatakan yaitu sebagai suatu  yang mencakup segala sumber  alam atau kekayaan alam. Alam bisa disebut juga dengan lingkungan yang tanpa kegiatan manusia. Allah swt telah berpesan kepada manusia agar menyukuri dengan sebaik-baknya apa yang telah diberikan, terutama nikmat alam semesta ini. Allah swt berfirman dalam al-Qur’an surat Yaasiin ayat 71-73. Yang artinya:
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebagian dari apa yang telah kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya? Dan kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka; maka sebagiannya menjadi tunggangan mereka dana sebgiannya mereka makan. Dan mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat dan minuman.”
Pada ayat diatas dijelaskan bahwa Allah swt telah menyediakan alam sebagai fasilitas yang luar biasa berlimpahnya guna memenuhi manusia selaku khalifah dibumi ini. Alam memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap manusia, jika alam mengalami kerusakan seperti hutan menjadi gundul, penebangan hutan secara liar itu akan berdampak buruk atau negatif . apa lagi di zaman modern ini, pemerintah dan masyarakat kurang memperhatikan lingkungan atau alam sehingga banyak lahan0lahan hijau dipakai untuk pembangunan gedung-gedung, jalan raya dan sebagainya. Karena berkurangnya kawasan hijau, pohon-pohon dan sebagainya. Maka akan berakibat terjadinya dlobal worming.
Jadi seharusnya manusia harus se-objektif mungkin dalam menjaga sumber daya alam ini agar tidak rusak, jika rusak akan berdampak dan merugikan pada kehidupan manusia secara keseluruhan.
B.HUBUNGAN ANTARA TUHAN, MANUSIA DAN ALAM
Hubungan antara Tuhan, manusia dan alam sangatlah erat. Tuhan sebagai dzat yang menciptakan manusia. Manusia dan Alam sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan.  Jika peran Tuhan tidak ada manusia dan alam tidak akan tercipta. Hubungan manusia dengan Tuhan disebut pengabdian (ibadah). Pengabdian manusia bukan untuk kepantingan Allah, Allah tidak berhajat (berkepentingan) kepada siapa pun, pengabdian itu bertujuan untuk mengembalikan manusia kepada asal penciptanya yaitu fitrah (kesucian)nya. Agar kehidupan manusia diridhoi oleh Allah swt. Seperti yang dijelaskan al-Qur’an dalam surat az-Zariyat ayat 56 yang artinya:
”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyambahku.”
Manusia dikaruniai akal (sebagai salah satu kelebihannya), dia juga sebagai khalifah  dimuka bumi, namun demikian manusia tetap harus terikat dan tunduk pada hukum Allah swt.Alam diciptakan oleh Allah swt dan diperuntukkan bagi kepentingan manusia. Sebagai khalifah, manusia diberi wewenang untuk mengelola dan mengolah serta memanfaatkan alan ini. Allah swt berfirman dalam surat al-Luqman ayat 20 dan dalam surat al-Hud ayat 61, yang artinya:
“tidaklah kamu perhatikan, sesungguhnya Allah swt menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi dan menyempurnakan untukmu nikmatnya lahir dan bathin.”
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.”
Namun, memang sering kali kita melihat sifat manusia yang kufur nikmat. salah satu hal yang paling jelas terlihat adalah kebiasaan manusia untuk menguras semua kekayaan alam tanpa memperdulikan kelestariannya. Padahal sesungguhnya didalam ajaran islam selalu dijelaskan bagaimana cara memanfaatkan alam dengan semestinya. Bahkan Allah swt dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 11-12 menyebutkan bahwa orang-orang yang merusak lingkungan itu termasuk golongan orang munafiq:
“Dan bila dikatakan kepada mereka: “janganlan kamu membuat kerusakan dimuka bumi.” Mereka menjawab: “sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itu orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.”
Pada kenyataan saat ini manusia sudah tidak lagi memperhatikan keseimbangan alam dalam mengeksploitasinya. Saat ini manusia telah dikuasai wahyu untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya sehingga dalam memanfaatkan alam tidak lagi memperdulikan dampak buruk terhadap keseimbangan ekosistem alam dibumi ini. Padahal hakekatnya manusia diciptakan oleh Allah swt untuk menjadi kholifah dimuka bumi tidak lain adalah Allah memberikan sebuah amanah yaitu Allah swt mempercayakan buumi-Nya ini kepada manusia untuk diurus dan dilestarikan keberadaannya.
Maka dari itu manusia harus melihat kembali siapa dirinya. Jika manusia menyadari akan tanggung jawab yang diberikan oleh Allah swt, maka manusia akan selalu bersyukur dan akan menjalankan fungsi dan tugas kita sebagai khalifah dimuka bumi ini dengan baik. Yaitu manusia akan benar-benar manjadi pemimpin dibumi ini dan menjaga alam ini. Kita tidak akan merusak hutan, mencemari laut dan tidak akan membuat polusi. Karena mausia sadar bahwa bumi ini sebagai ladang amal sebagai bekal menuju kehidupan yang hakiki yaitu kehidupan akhirat, dengan cara menjaga kelestarian alam ini dan manusia akan selalu berusaha sebisa mungkin agar peringatan Allah pada surat ar-Ruum ayat 41 yang artinya:
“telah nampak kerusakan didarat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah swt merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).
Menjadi cambuk yang keras agar kita selalu istiqomah dalam bertauhid kepada Allah swt dan menjaga kelestarian alam ciptaan Allah yang Maha Mulia ini.
Kesimpulan dari artikel ini ialah kita harus menyadari bahwa hubungan antara Allah swt, manusia dan alam itu dangatlah jelas. Allah swt sebagai Sang Pencipta yang menciptakan alam beserta isinya, lalu Allah swt menciptakan makhluk yang bernama manusia sebagai pengurus bumi. Manusia akan dimintai pertanggung jawabannya langsung kepada Allah swt  tentang hasil dari kepengurusannya. Barang siapa yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt dan menjalankan amanat dengan sebaik-baiknya maka niscahya dia akan mendapatkan kebahagiaan didunia dan diakhirat. Sedangkan sebaliknya siapa yang inkar dan tidak memperdulikan perintah Allah swt akan mendapat murka dan laknat Allah didunia maupun diakhirat. Dan alam ini akan menjadi saksi dihadapan Allah swt dan tidak akan ada satu orang manusiapun yang bisa memungkiri perbuatannya selama didunia ini ketika tiba masanya harii perhitungan karena sesungguhnya Allah swt itu Maha Mengetahui segala sesuatu.

PEMBUKA AL-QUR'AN



PEMBUKA SURAT-SURAT AL-QUR’AN 


Hal yang tidak kurang pentingnya dibahas dalam mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya, adalah tentang pernyataan-pernyataan yang ditetapkan Allah dalam membuka surah-surah al-Qur’an. Al-Qur’an al-Karim memuat 114 surah, menurut Ulama yang menghitung Surah at-Taubah/9 sebagai surah yang berdiri sendiri. Ulama yang tidak menghitungnya sebagai surah yang berdiri sendiri, karena surah ini tidak diawali basmalah dan dipandang sebagai terusan surat sebelumnya, jumlah surah al-Qur’an hanya 113, dari Surah al-Fatihah sampai Surah an-Nas.
Perbedaan ulama dalam menetapkan jumlah surah al-Qur’an bukanlah masalah yang prinsip. Namun, satu hal yang jelas adalah bahwa surah-surah yang terhimpun dalam al-Qur’an tidaklah dibuka Allah seluruhnya dengan pilihan nuansa spiritual yang sama dan monoton, tetapi dengan variasi pernyataan yang berbeda-beda. Perbedaan pembuka surah- surah itu tentulah bukan tanpa makna yang berarti.
Adalah amat menakjubkan bagi orang – orang yang berfikir dan mau mengerti, bahwa Allah swt membuka atau memulai surah  - surah kalam-Nya dalam al-Qur’an, dengan tak kurang dari 10 macam pernyataan (frasa). Sepuluh macam frasa itu meliputi/menjaring seluruh surah yang ada dalam al-Qur’an. Tidak satu pun surah yang berada diluar jangkauan orientasi pernyataan-pernyataan itu. Sepuluh macam frasa yang dimaksud adalah berikut :
Pertama, Allah menyatakan pujian (as-sana’). Allah yang Maha Qadim menyatakan pujian diri-Nya kepada diri-Nya sendiri, yang dalam istilah resmi disebut hamdul-qadim lil-qadim (Puji Tuhan yang Qadim kepada diri-Nya). Pujian dalam kategori ini terlihat dalam dua macam, yaitu pujian yang menegaskan predikat positif dan kesempurnaan dalam diri-Nya dari sifat – sifat kekurangan. Pertama berbentuk at-tahmid (pujian), seperti terlihat dalam lima surah, yaitu : al-Fatihah/1, al-An’am/6, al-Kahfi/18, Saba;/34 dan Fatir/35: danterdapat dalam ungkapan keberkahan (tabaroka) dalam dua surah : al-Furqan/25 dan al-Mulk.67. kedua, berbentuk Tasbih yang dalam al-Qur’an terdapat dalam tujuh surah : al-Isra’/17, al-Hadid/57, al-Hasyr/59, as-Saff/61, al-Jumu’ah/62, at-Tagabun/64  dan al-A’la/87.
Menurut pendapat al-Kirmani, dalam Mutasabih Al-qur’an, “Tasbih merupakan ungkapan kata yang penting dalam rangka menyucikan Allah dari sifat – sifat yang tidak baik bagi-Nya.” Maka, ia memulai menyatakan tasbih dengan, menggunakan kata subhana (masdar) dalam surah al-Isra/17, karena masdar adalah yang asal. Kemudian Allah menggunakan sabbaha, fil madhi (kata kerja lampau) yang artinya “telah bertasbih.” Ungkapan sabbaha terdapat dalam dua surah, yaitu Surah al-Hadid/57 dan al-Hasyr/59, karena keduanya lebih dahulu segi turunya. Selanjutnya, Allah swt menyatakan tasbih dengan menggunakan fi’il Mudhori, yusabbihu, yang artinya “selalu bertasbih”, terda[at dalam surah al-Jumuah/62 dan surah at-Tagabun/64. Allah swt juga membuka dengan tasbih dengan bentuk fi’il Amar (kata kerja perintah), yaitu sabbih, yang artinya “bertasbihlah”, dalam surat al-A’la/87. Dengan demikian, penggunaan tasbih oleh Allah swt sebagai pembuka surah-surah al-Qur’an telah dipaparkan dalam berbagai bentuknya, untuk menunjukkan makana pentingnya tindakan manusia dalam wujud memahasucikan Allah.
Al-Qur’an dengan begitu mengajarkan kepada menusia untuk bertasbih kepada Allah. Bertasbih tidak hanya dikerjakan oleh manusia, tetapi juga oleh makhluk Allah yang lain diantara langit dan bumi, sesuai dengan hukum alamnya masing – masing.
Kedua, Allah, dalam rangka membuka sebagian surah-surah al-Qur’an, menggunakan huruf-huruf tahajji, yaitu huruf-huruf yang dalam pembacaannya dibaca satu – persatu (al-huruf al-muqotta’ah). Kenyataan bahwa huruf-huruf tahajji digunakan Allah sebagai surah-surah al-Qur’an, terdapat dalam sejumlah 29 surah, yang dalam pandangan kebanyakan ulama itu dimasukkan dalam jenis nas mutasyabih, yang dalam memahaminya memerlukan pentakwilan. 6 buah surah : al-Baqarah/2, ali-Imran/3, al-Ankabut/29, ar-Rum/30, Lukman/31, dan as-Sajdah/32, dibuka dengan Alif-Lam-Mim. Surah al-A’raf/7 dibuka dengan Alif-Lam-Mim-Shad. Surah Yunus/10, Hud/11, Yusuf/12, Ibrahim/14, dan Surah al-Hijr/15 dibuka dengan Alif-Lam-Ra’. Surah ar-Ra’d/13 dengan Alif-Lam-Mim-Ra’. Surah Maryam/19 dengan Kaf-Ha’-Ya-‘ain-Shad. Surat Thoha/20 dengan huruf Ta-Ha. Surah as-Syu’ara/26 dan al-Qasas/28 dengan ta-sin-mim. Surah an-Naml/27 dengan ta’-sin. Surah Yasin/36 dengan huruf ya-sin. Surah Sad/38 dengan huruf sad. Surah al-Mu’min/40, Fussilat/41, az-Zukhruf/43, ad-Dukhan/44, al-Jasiyah/45, dan Surah al-Ahqaf/46 dibuka dengan ha’-mim. Surah as-Syu’ara’/26 dengan ha’-mim-‘ain-sin-qaf. Surah Qaf/50 dengan huruf qaf, dan Surah al-Qalam/68 dengan Huruf Nun.  

Pembukaan Surah dengan huruf-huruf potong

Pembukaan surah dengan huruf-huruf potong ada lima macam, yaitu: 
   1. Dengan huruf potong satu: qaf, sad, dan nun (Surah al-Qalam).
     2. Dengan huruf potong dua :
a.Tujuh dengan hamim: Gafir, Fussilat, as-Syura’, az-Zukhruf, ad-Dukhan, al-Jasiyah, dan al-ahqaf.
b.Dimulai dengan ya sin, yakni pada Surah Yasin.
c.Dimulai dengan ta ha, yakni pada Surah Taha.
d.Dimulai dengan ta’ sin, yakni pada Surah an-Naml.
    3. Dengan huruf potong tiga:
a.Enam dengan Alif-lam-mim: al-Baqarah, ali-Imran, al-Ankabut, ar-Rum, Lukman, as-Sajdah.
b.Lima dengan Alif-lam-ro’: Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, Al-Hijr.
c.Dua dengan ta’-sin-mim : as-Syu’ara’, dan al-Qasas.
     4. Dengan huruf potong empat:
a.Satu dengan alif-lam-mim: yakni pada al-A’raf.
b.Satu dengan alif-lam-mim-ra’: yakni pada ar-rad.
    5. Satu dengan huruf potong lima, yakni : kaf, ha, ya, ain, sad. Pada surah maryam.


   Rahasia huruf potong pada permulaan surah


            Ulama-ulama tafsir telah membahas masalah ini penjang lebar menurut visi (tinjauan) mereka masing – masing. Dari sekian banyak butir pembicaraan tentang huruf potong ini, akan kita sarikan dibawah ini seperlunya.
            Imam al-Zamakhsyari dalam al-kasyyaf menyebutkan jumlah huruf potong yang digunakan pada permulaan surah-surah yang 29 itu ada 14 huruf, yang berarti separuh dari 29 huruf-huruf hijaiyah. Seolah-olah isyarat itu member kesan (kata Qadi Abu Bakar) bahwa siapa yang menuduh al-Qur’an itu bukan ayat-ayat Tuhan, dipersuilahkan menggunakan huruf-huruf selebihnya untuk menyusun suatu kalimat yang sanggup menandai al-Qur’an alif dan lam, dalam bahasa Arab, paling banyak terpakai dalam susunan kalimat.
Sekalipun sebagian ulama tetap mengatakan huruf – huruf potong itu adalah rahasia ilahi yang ada dalam al-Qur’an dan tidak mungkin diketahui melaikan oleh Allah saja. Namun, tidaklah menghalangi orang untuk menggali terus segala rahasia yang terdapat didalamnya.
Ibnu abbas mengatakan huruf-huruf potong itu merupakan singkatan dari nama-nama Allah, misalnya:

  • Alif   singkatan dari Allah
  • Lam   singkatan dari Latief
  • Mim singkatan dari Majid
  • Kaf    singkatan dari Karim
  •  Ha     singkatan dari Hadi
  • Ya     singkatan dari Hakim
  • Ain    singkatan dari Alim
  • Sad    singkatan dari Saddiq
Penafsiran Ibnu Abbas juga diikuti oleh beberapa tabi’in seperti ad-Dahhak yang mengartikan Alif-Lam-Mim dengan Allah ar-Rahman as-Shamad (Allah yang Maha Pengasih Lagi tempat Meminta), dan seterusnya.
Tidak ketinggalan, dalam mencari rahasia huruf potong ini seorang orientalis (ahli ketimuran) yang bernama Sprenger. Katanya, dalam ayat Ta’-Sin-Mim tersimpul arti Layamassuhu illalmuthoharun (tiada yang menyentuhnya melainkan orang yang disucikan, sebab pada huruf ta’ ada al-Muthoharun, sedangkan pada Sin dan Mim tersimpul arti yamassu (menyentuh).
Neoldeke (kelahiran Hamburg tahun 1836) menggagap huruf potong pada permulaan itu termasuk ayat al-Qur’an itu sendiri, sedangkan Schwally perpendapat bahwa ia memandang huruf potong itu singkatan dari nama sahabat, yang ditangan mereka ada sebagian naskah surah yang mereka riwayatkan dari Nabi secara ma’nanya saja (artinya teks dari kata-kata itu adalah bahasa sahabat itu sendiri). Misalnya, catatan Schwally : sin singkatan dari Sa’ad ibn Abi Waqqas, mim dari al-Muqirah, nun dari Ustman ibn Affan, ha dari Hurairoh, dan seterusnya.
Akan tetapi, baik Noeldeke maupun Schwally merasa pendiriannya tidak tetap, sehingga dalam buku catatan berikutnya ia telah mengoreksi kesalahannya kembali.
Mujahid, seorang tabi’in besar, berpendapat permulaan surah dengan huruf potong itu dimasukkan sebagai peringatan atau menyadarkan si pembaca akan pentingnya makna pada ayat berikutnya. Kebiasaan demikian pada sair yang dibuat orang arab pada masa itu adalah dengan memakai huruf tanbih (peringatan untuk menarik perhatian orang). Seperti : “ala” atau “ama” yang berarti “ingatlah”. al-Qur’an memunculkan sesuatuyang baru yang tidak di kenal oleh manusia sebelum nyauntuk menunjukan ke istimewa’an al-Qur’anitu sebagai si pendengar.al-khuwaibi,mengatakan bahwa Muhammad sebagai manusia biasa tentu saja sewaktu-waktu tidak terpesat benar pikiraranya ketika menerima wahyu,maka jibril menurunkan sebagian surah dengan terlebih dahulu menyebutkan”alif-lam-mim, alif –lam-ra’,dan seterus nya” agar nabi mengenal suara jibril,sehingga nabi segera sadar bahwa wahyu akan di turunkan.
Pendapat yang serupa dan lebih tararah lagi, dikemukakan oleh Muhammad Sayyid Rasyid Rida (1865-19359) dalam tafsir al_Manar. Kata beliau dengan huruf-huruf potong itu dimaksudkan agar nabi saw segara ingat dan dapat menguasai dirinya menerima wahyu dari jibril dan mendekatkan perhatian kepadanya. Selanjutnya, beliau mengatakan bahwa tanbih (peringatan) pada mulannya ditujukan kepada orang Musyrikin Quraisy kemudian kepada orang-orang ahli kitab Madinah.
Berturut-turut mufasir besar seperti Imam ar-Razi, az-Zarkasyi, as-Syuyuti, Ibnu Katsir, Ibnu Jarir,  menyebutkan dalam tafsir – tafsir mereka bahwa soal makna huruf potong itu sebagai tanbih (minta perhatian). Pada masa turunnya wahyu itu, orang –orang kafir berusaha memalingkan perhatian orang yang hendak mendengar al-Qur’an dengan mengatakan “janganlah kalian mendengarkan al-Qur’an itu”. Mereka berupaya keras agar orang yang belum mengenal Muhammad tidak tertarik pada beliau. Karena itu, Allah menurunkan sesuatu yang belum mereka kenal untuk mematahkan dan membungkam mulut kaum kafir yang tidak senang itu dan sekaligus menarik minat mereka mendengarkan al-Qur’an, yakni dengan huruf-huruf potong yang belum ada dalam bahasa mereka sehingga. Kalau huruf potong itu terdengar, mereka betul-betul kagum dan heran, sehingga mereka mengajak orang mendengarkan apa yang disampaikan Muhammad. Huruf potong itulah sebagian dari daya tarik al-Qur’an dan daya pikat bagi pendengarnya.
Dari keterangan –keterangan diatas, dapat diambil kesimpulan tentang masalah ini, yakni :
a.Huruf-huruf potong itu merupakan singkatan dari nama-nama Allah azza wa jalla, tetapi tidaklah mungkin ia singkatan dari nama para sahabat seperti pendapat para orientalis itu.
b.Huruf potong pada permulaan surah dimaksudkan untuk menarik perhatian orang – orang yang mendengar wahyu tentang apa yang hendak dibicarakan dalam ayat berikutnya. Huruf potong itu merangsang pikiran dan perasaan orang untuk lebih tertarik mendengarkan dan memahami ayat al-Qur’an. Apalagi dari 29 buah surah yang dimulai dengan huruf potong, 27 buah surah diantaranya diturunkan di Makkah yang pada intinya berisikan ajakan-ajakan kepada orang kafir Makkah khususnya dan umat manusia umumnya untuk lebih manyakinkan kenabian Muhammad dan kebenaran wahyu yang dibawanya. Sedangkan huruf potong pada surah ali-Imron dan al-Baqoroh yang diturunkan dimadinah (Madaniyah) agaknya merupakan ajakan pada orang ahli kitab atau para cendekiawan umumnya dengan jalan berdialog dan dengan bertukar pikiran secara sehat. Cukuplah huruf potong itu sebagai daya perangsang dan daya pikat buat mereka.


Tentu masih banyak buah pikiran lain yang tak mungkin disebutkan semuanya, seperti Syaikh Tantawi Jauhari yang menyoroti huruf potong itu dari sudut ilmu Fisika dan pengetahuan alam, dari sudut mistik bagi orang – orang kebatinan dan sebagainya.
Pada umumnya, para mufasir tidak berupaya memahami maksud ungkapan rumus tersebut. Terhadap nas mutasyabbih itu, mereka lebih suka menyatakan Allahu a’lamu bimurodihi (Allah paling mengetahui maksudnya). Kelompok pakar serupa itu memandang bahwa hidayah al-Qur’an bukan terletak pada ungkapan – ungkapan seperti itu. Tetapi pada keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an, pada nas-nas yang mudah dipahami maksud dan maknanya.
Tetapi, ada mufasir yang mencoba memahami maksud huruf-huruf potong pembuka surah-surah itu, dengan merujuk pandangan mufasir masa awal islam, semisal ibnu abbas. Dengan merujuk pendapat Ibnu Abbas, huruf-huruf potong yang ditampilkan Allah dibagian awal beberapa surah al-Qur’an, mengandung arti sebagai inisial nama – nama Alah, yang memang tuhan memiliki al-Asma’ al-Husna (nama – nama yang baik). Atau, setiap huruf yang terdapat dalam uangkapan huruf hijaiyah itu sebagai kependekan dari kata – kata yang sacral dan suci. Seperti Alif-Lam-Mim dan penakwilan yang berdasarkan takwil Ibnu Abbas: Alif merupakan inisial dari kata Allah, Lam dari kata Jibril, dan Mim inisial dari kata Muhammad. Dengan begitu, maksudnya adalah hadzal Qu’an munazzal minallahi ala lisani jibril ila Muhammad (al-Qur’an ini diturunkan dari Allah melalui penuturan Jibril disampaikan kepada Muhammad).
Penakwilan tersebut adalah untuk menangkap sisi hidayah yang terdapat dalam ungkapan – ungkapan firmannya yang berupa huruf-huruf tahajji itu. Upaya penakwilan serupa untuk mencari solusi dari keterjebakan hidayah “lempar handuk” yang dalam menghadapi huruf-huruf tahajji tersebut seolah-olah cukup diselesaikan dengan kata Allahu a’lam bi murodihi. Pemaknaan sebuah ungkapan dalam al-Qur’an mungkin dapat memunculkan sisi hidayah dari ungkapan tersebut.
Ketiga, Allah membuka sejumlah surah dengan mengedepankan panggilan (an-Nida’), dalam sepuluh surah. Panggilan kepada Rasulullah dipermulaan surah terdapat pada surah al-Ahzab/33, at-Thalaq/65, al-Tahrim/66, al-Muzammil/73, dan al-Mudassir/74. Panggilan lain yang ditujukan kepada umat adalah sebagai mana terlihat diawal surah an-Nisa’/4, al-Maidah/5, al-Hajj/22, al-Hujurat/49 dan al-Muntahanah/60. Panggilan kepada Rasulullah tentu dengan tujuan agar menjadi perhatian Rasul yang sudah semestinya  juga perhatian uamatnya. Sedangakan penggilan yang ditujukan pada umat adalah sebagai bukti kasih saying Allah kepada mereka, dan agar apa yang disampaikan berupa perintah atau larangan yang ditegaskan setelah panggilan itu benar-benar diperhatikan dan diamalkan atau ditinggalkan dengan kesadaran, yakni dengan pemantauan dan pengendalian pada diri sendiri.
Dengan demikian, satu fakta sangat jelas bahwa panggilan Allah dalam al-Qur’an tidak hanya ditujukan  kepada Rasulullah selaku penerima wahyu, tetapi juga kepada umat manusia terutama kepada umat islam, karena al-Qur’an itu memang sebagai petunjuk bagi uamat manusia (hudan lin nas).
Keempat,  Allah dibeberapa surah mengedepankan jumlah khobariyah (pernyataan berita), baik ditujukan kapada Rasulullah maupun kepada umat. Hal itu seperti dapat dilihat dalam surah al-Anfal/8, at-taubah/9, an-Nahl/16, al-Anbiya’/21, al-Mu’minun/23, an-Nur/24, az-Zumar/39, Muhammad/47, al-Fath/48, al-Qamar/54, ar-Rohman/55, al-Mujadilah/58, al-Haqqah/69, al-Ma’arij/70, Nuh/71, la uqsimu di dua tempat, ‘abasa/80, al-Qadar/97, al-Bayyinah/98, al-Qori’ah/101, at-Takatsur/102, al-Kautsar/108. Seleruh surah yang dibuka dengan jumlah khobariyah, kata as-Syuyuti berjumlah 23 surah.
Pernyataan berita yang tersebar dalam 23 surah tersebut merupakan pernyataan-pernyataan yang sangat penting agar manusia menghargai dalam menerima, memahami, mengerti dan mengamalkannya. Semuanya perlu pada sikap positif manusia, baik aqidah (keyakinan), ibadah maupun lainya.
Kelima, Allah mengedepankan al-Qasam (sumpah) Nya dalam 15 surah disini ia bersumpah dengan menyebutkan sebagian makhluknya sebagai muqsam bih. Diawal surah as-Saffat/37, ia bersumpah dengan malaikat yang berbaris bersaf-saf. Dalam dua surah, al-Buruj/85 dan at-Thariq/86, ia bersumpah dengan langit (as-Sama’). Kemudian, dalam 6 tempat, ia ber Qasam dengan mekhluk-makhluknya terdapat pada makhluk yang digunakan sumpah tadi. Da;am surah an-Najm/53, ia bersumpah dengan bintang surayya. Disurah lain ditemukan sumpahnya dengan menyebut “fajar” yang menandai dimulainya waktu siang ; matahari yang ada pada siang hari “malam” yang menjadi tanda gelap yang kelam, “dhuha” dipai hari, “ashar” diwaktu yang lain. Tegasnya, Allah bersumpah dengan sejumlah waktu.
Dalam dua surah, ia bersumpah dengan angin (al-Hawa’) yang merupakan unsure alam yang penting sekali, yaitu dalam Surah az-Zariyat/51 dan Surah al-Mursalat/77. Demikian pula Allah bersumpah dengan menyebut bermacam-macam makhluknya, seperti dalam surah at-Tur/52, at-Tin/95, an-Naziat/79, dan al-Adiyat/100. Disbanding sumpah-sumpah-Nya yang menyebut diri-Nya/Dzat-Nya, sumpah-sumpah-Nya dengan menyebut makhluk-Nya lebih banyak tersebar dalam banyak surah al-Qur’an.
Mengapa Allah memilih dan menetapkan sebagian dari makhluk-Nya, dalam rangka sumpah-sumpah-Nya? Tentu hal tersebut memiliki tujuan dan maksud tertentu. Apakah hikmah dibalik pilihan Allah terhadap sebagian makhluk-Nya untuk digunakan sebagai objek dalam sumpah-sumpah-Nya?
Ibnu Abi al-Isba’ juga Ibnu Qayyim al-Jauziyah, menyebutkan bahwa sumpah-sumpah Allah dengan menyebut sebagian makhluk-Nya menunjukkan bahwa makhluk tersebut termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya yang penting atau agung. Maksudnya, hal yang disebutkan dalam posisi muqsam bih itu memang sesuatu yang amat penting yang perlu diperhatikan manusia yang merupakan mitra bicara Allah dalam sumpah-Nya.
Dengan demikian, apabila Allah bersumpah, misalnya dalam Surah asy-Syams/91:1, wasy-Syamsyi (demi matahari), maka terjemahan sumpah tersebut yang paling tepat adalah “alangkah pentingnya matahari”. Pemahaman serupa itu diambil sejalan dengan maksud penyebutannya oleh Allah dalam sumpahnya itu, yaitu sebagi dalilun ala azimi ayati (bukti atas pentingnya ayat Allah). Sasarannya adalah agar manusia mampu menangkap makna pentingnya keberadaan matahari itu dalam keseluruhan tata kehidupan makhluk, khususnya manusia. Sampai sekarang sudahkah umat islam mampu menangkap makna penting dari keberadaan matahari? Sudah mampukah umat islam menangkap dengan tepat dan akurat makna penting kata “wal ashr” yang digunakan sebagai muqsam bih dalam sumpahnya pada surah al-Ashr/103?
Syaikh Muhammad Abduh mengemukakan bahwa sekiranya kita meneliti kembali sumpah-sumpah tuhan dalam al-Qur’an akan tampak bahwa benda-benda yang digunakan Allah bersumpah merupakan hal-hal yang diremehkan karena ketidaktahuan akan faidahnya dan ketidak mampuan menangkap ibrah (pelajaran) yang dikandungnya atau disebabkan kebutaan terhadap kandungan hikamah Allah dalam ciptaan-Nya, atau terjadi persepsi yang keliru terhadapnya sehingga melampaui kebenaran yang ditetapkan-Nya terhadapnya.
Karena itu, menurut Muhammad Abduh, adakalanya Allah bersumpah dengan menggunakan suatu objek tertentu untuk menegakkan eksistensinya dalam pikiran orang yang mengingkarinya, atau untuk mengingatkan terhadapnya terhadap diri orang yang meremehkan atau melupakannya, atau demi mengubah citranya dalam diri orang yang disesatkan oleh khayalnya dan orang yang diselewengkan oleh persepsinya yang keliru atau salah.
Menurut pendapat asy-Sya’rawi ada juga diantara objek yang digunakan Allah dalam bersumpah karena objek tersebut dipandang sebagai sesuatu yang biasa saja, yang tidak dipedulikan dan tak diperhatikan. Allah bersumpah dengan-Nya untuk mengorientasikan pikiran manusia agar memerhatikannya. Allah menggunakan objek tertentu dari makhluk-Nya dalam bersumpah Karena pada makhluk tersebut terdapat sesuatu yang amat penting/agung yang telah dilupakan manusia.
Keenam, Allah menyebutkan kejadian-kejadian tertentu dengan mengaitkanya dengan syarat. Penyebutan syarat tersebut dibagian pertama surah-surah tertentu untuk menunjukan bahwa kejadian itu merupakan yang pasti akan terjadi, bukan hal yang mungkin terjadi atau mustahil terjadi.hal itu seperti terdapat dalam tujuh surah, yakni surah al-Waqi’ah/56, al-Munafiqun/63, at-Takwir/81, al-Infitar/82, al-Insyiqaq/84, az-Zalzalah/99, an-Nasr/110.
Semua surah tersebut dibuka dengan syarat iza yang artinya “apabila” ungkapan syarat, “apabila terjadi hari kiamat” (al-Waqiah/56), “apabila orang – orang munafiq datang kepadamu (al-Munafiqun/63), “apabila matahari digulung” (at-Takwir/81), “apabila langit terbelah” dan apabila bumi berguncang dengan guncangan yang dasyat” (az-Zalzalah/99), dan “apabila telah datang pertolongan dan kemenangan” (an-Nasr/110), semuanya itu pasti akan terjadi didalam kenyataan yang tak dapat dihindari. Syarat iza digunakan untuk hal-hal yang pasti terjadi.
Perlu dijelaskan bahwa syarat iza digunakan al-Qur’an untuk sesuatu yang pasti akan terjadi, berbeda dengan kata “in” yang biasa digunakan untuk sesuatu yang belum atau jarang terjadi, dan berbeda pula dengan syarat “law” yang digunakan untuk mengandaikan sesuatu yang mustahil akan terjadi. Dengan demikian, ungkapan – ungkapan dengan penyebutan huruf iza (apabila) dalam surah-surah diatas, mengisyaratkan kepastian akan terjadinya hal-hal tersebut. Semua itu harus diyakini sebagai hal-hal yang niscaya terjadi pada waktunya yang tepat.
Ketujuh, Allah membuka surah-surah tertentu dengan menekankan al-Amar (perintah) Nya yang diarahkan pada Rasulullah, yang juga kepada umatnya. Hal itu seperti terlihat dalam 6 surah, yaitu surah al-Jin/72, al-Alaq/96, al-kafirun/109, al-Ikhlas/112, al-Falaq/113 dan an-Nas/114.
Dalam enam surah tersebut Allah memulai firman-Nya dengan fi’il Amar “Qul” yang artinya “Katakanlah”. Perintah “Qul” dimaksudkan agar apa yang disebutkan setelah kata perintah itu diterima, dijadikan sikap dan diyakini, sehingga benar-benar menjadi keyakinan yang kukuh. Misalnya, kita menerima firman-Nya: qul huwallahu ahad (katakanlah dia itu Allah Maha Esa) itu berarti kita diperintah Allah untuk menerima, berkata, dan mempunyai keyakinan bahwa Allah Tuhan yang Maha Esa. Maka kita selaku muslim selalu mengucapkan kesaksian: Asyhadu alla ilaha illallah (saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali Allah).
Kedelapan, Allah menyampaikan istifham (pertanyaan) dipermulaan enam surah, yaitu dalam Surah an-Naba’/78, al-Ghasiyah/88, asy-Syarh/94, al-Fil/105, dan al-Ma’un/107.
Pertanyaan-pertanyaan Allah itu bukanlah berarti Tuhan tidak mengetahui masalah-masalah dibalik pertanyaan, tetapi sebagi metode atau jembatan dalam rangka menjelaskan lebih jauh apa-apa yang hendak dipaparkan-Nya, sehingga siapa pun yang menjadi mitra bicara Allah menjadi tau dengan jelas dan mengerti.
Kesembilan, Allah memvonis celaka kepada pihak-pihak yang mestinya celaka dipermulaan beberapa surah, yakni Surah al-Muthoffifin/83 dengan Vonis wailul lil muthoffifin (celakalah bagi orang-orang yang curang); dan Surah al-Humazah/104, dengan vonis wailul likulli humazah (celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela), dan dalam Surah al-Lahab/111, dengan vonis-Nya tabbat yadaa abi lahabiw watabba (binasalah diri Abu Laha, dan benar-benar binasa dia). Vonis – vonis Allah tersebut disampaikan-Nya setimpal dengan keburukan dan kejahatan masing-masing yang disebut dalam surah-surah yang terkait.
Kesepuluh,  Allah dalm satu-satunya surah yaitu Surah Quraisy/106, mengedepankan penjelasan alasan (at-Ta’lil). Alasan dalam surah itu ditempatkan lebih dahulu dari sesuatu yang diperintahkan-Nya seperti yang diletakkan kepada ayat 3. Dalam kata lain dalam surah ini, Allah lebih mendahulukan keterangan alasan dari pada penyebutan sesuatu yang seharusnya dilakukan (taqdimut ta’lil anil amri). Jadi, Allah memerintahkan sesuatu dengan terlebih dahulu disampaikan alasannya, agar perintah yang disampaikan itu benar-benar  diperhatikan atau dijalankan. Contoh dalam bahasa Indonesia dapat dibuat, misalnya : “karena anda memiliki reputasi penting dan menonjol dalam segala hal dimasyarakat, maka anda seharusnya banyak berbuat baik untuk diteladani oleh semua warga masyarakat”.
Dalam ilmu balaghah, gaya pengungkapan pembicaraan serupa itu termasuk uslub (gaya bahasa) yang tinggi dan efektif. Sebelum perintah disampaikan kepada orang quraisy, terlebih dahulu disampaikan alasannya. Dalam memahami firman Allah disini, ada yang mengaitkan huruf lam karena at-Ta’lilm, dalam kata liilafi pada awal ayat satu surah al-Quraisy, dengan perintah beribadah yang ditegaskan pada ayat tiga berikutnya. Seakan-akan surah ini mengatakan:”hendaklah mereka mengembah Allah, tuhan pemilik rumah ini, karena dia telah menjamin kelancaran jalur perdagangan mereka, baik pada musim dingin maupum musim panas”. Alasan yang disampaikan terlebih dahulu terasa lebih indah.
Demikianlah sepuluh macam fakta pembuka surah-surah al-Qur’an yang dapat dijelaskan yang ternyata alangkah bagus, menarik dan indah pembuka-pembuka itu. Pembuka seperti pujian (at-Tahmid), huruf-huruf tahajji, penggilan (an-Nida’) kepada Nabi dan umat, pernyataan berita kepada Nabi dan umat, sumpah-sumpah Allah, persyaratan “iza” (apabila), perintah kepada Nabi dan umat, pertanyaan simpatik, vonis kecelakaan pada pihak tertentu, dan penyampaian alasan (at-Ta’lil) dalam rangkaian perintah yang seharusnya dilakukan, adalah permulaan-permulaan yang sangat bagus. Menurut tinjauan ilmu bayan, permulaan atau pembuka pembicaraan yang tepat dan bagus merupakan bagian integral dari kebalagahan pembicaraan (min Balagatil kalam). Wallahua’lam